Berebut Legitimasi Sukarno


Memakai nama dan simbol Sukarno dalam pemilu sudah dilakukan sejak pemilu 1971, untuk mendapatkan dukungan luas masyarakat.

Dalam kampanye yang dilakukan PNI, mereka membawa Guntur dan Rachmawati. Sambutan yang luar biasa terhadap putera puteri Sukarno menunjukan, disatu pihak betapa luar biasanya kedudukan Sukarno dimata pendukungnya, sekaligus ketergantungan PNI terhadap Sukarno.

Sekarang Sukarno tidak saja menjadi sumber legitimasi ide ide politik PDIP, partai yang secara historis menjadi rumah baru PNI. Tapi juga diusung partai partai lain. Mereka berusaha menunjukan sebagai penerus cita-cita Sukarno, walau sejujurnya dalam sejarah partainya, hampir sedikit – kalau dibilang tidak ada – pergulatan pemikiran Sukarno yang diadopsi.

Prabowo Subianto, kandidat Calon Presiden dari Gerindra berani mengindentifikasikan dirinya dengan penampilan yang mirip-mirip proklamator itu. Baju putih putih berkantung empat dan peci hitam. Prabowo juga mengambil cara berpikir Sukarno dalam kerangka mitologi Jawa, yaitu konsep kepercayaan sebagai tercermin dalam cerita cerita wayang, mitos Ratu adil yang intinya adalah harapan, penantian kehadiran juru selamat.

Gaya orasi Prabowo yang mirip dengan Sukarno, untuk menunjukan negeri yang besar, sumber daya alam, demografi yang luar biasa, tapi penduduknya yang miskin. Keadilan sosial yang tidak merata. Puluhan tahun lalu, Sukarno sudah berpidato berulang kali tentang luas Indonesia yang lebih besar dari daratan Eropa, dengan zona waktu yang berbeda. Kini Prabowo juga melakukan hal yang sama pada setiap pidatonya.

Sebagaimana Sukarno, Prabowo juga menunjukan kemandirian serta keberpihakan pada bangsa sendiri daripada bangsa asing. Sukarno juga sangat mencintai wayang, bahkan Presiden pertama Indonesia sangat kagum dengan sosok Bima. Tulisan tulisan Sukarno sebelum kemerdekaan, banyak memakai nama samaran Bima. Bukan kebetulan, dalam acara pemantapan tim pemenangan pasangan Prabowo – Hatta di Solo, dalang Ki Manteb Sudarsono memberikan wayang Bima yang dianggap sebagai personifikasi Prabowo.

Apakah Prabowo memahami dasar pemikiran Soekarno? Coba kita lihat dalam manifesto perjuangan Gerindra di bidang agama, tertulis :

“Setiap orang berhak atas kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/kepercayaan. Namun, pemerintah/negara wajib mengatur kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama“

Walau akhirnya dihapus, jelas manifesto yang intoleran itu bertolak belakang dengan pandangan Sukarno tentang peran negara dalam agama. Sebagaimana diketahui, dalam majalah “Panji Islam“ tahun 1940, Sukarno menulis artikel berjudul ‘Memudakan Islam‘ yang memuji langkah sekuler yang dilakukan pemimpin Turki, Kemal Ataturk. Ia menyebut pemisahan agama dari negara yang dilakukan Ataturk sebagai langkah berani, ketika agama diserahkan kepada individu pemeluknya, bukan menjadi urusan negara. Sukarno percaya tidak saja di Turki, tapi dimana saja, jika Pemerintah campur tangan dalam urusan agama, akan menjadi halangan besar dalam kesuburan agama itu sendiri.

Kontradiksi menonjol ada dalam masalah welt-anschauung, sebuah pandangan Sukarno yang merujuk pada Pancasila yang melandasi persatuan bangsa, adalah kebinekaan dan semangat gotong royong. Sementara setelah mendapatkan konstituen loyal berdasarkan issue issue nasionalisme seperti kemandirian dan kedaulatan, Gerindra justru memberi sinyal kepada kelompok intoleran untuk bergabung.

Selain itu, dalam salah satu pidatonya, Prabowo mengatakan, sebagai seorang pengusaha pada dasarnya dirinya adalah seorang kapitalis. Ia hanya menolak penjajahan baru dari sektor ekonomi terhadap bangsa Indonesia. Seorang pengusaha (kapitalis) tentu berbeda pemikirannya dengan nasionalisme Sukarno yang berjuang pada kemanusiaan. Ketika kita mendengar PT Kertas Nusantara (dulu Kiani Kertas) yang dimiliki Prabowo masih menunggak gaji kepada buruh buruhnya, otomatis teringat tulisan Sukarno “Kapitalisme Bangsa Sendiri“ yang dimuat dalam harian ‘Fikiran Ra’jat‘ tahun 1932.

Sukarno menegaskan bahwa kapitalisme asing maupun kapitalisme bangsa sendiri sama saja, keduanya menyengsarakan rakyat jelata. Sukarno menunjukkan fakta-fakta itu dalam kehidupan buruh industri batik di Lawean Solo, buruh industri rokok di Kudus, Tulung Agung dan Blitar.

“Mengutamakan perjuangan kebangsaan, itu TIDAK berarti bahwa kita tidak harus melawan ketamaan atau kapitalisme bangsa sendiri. Sebaliknya! Kita harus mendidik rakyat juga benci kepada kapitalisme bangsa sendiri, dan di mana ada kapitalisme bangsa sendiri, kita harus melawan kapitalisme bangsa sendiri juga! Tetapi MENGUTAMAKAN perjuangan nasional, itu adalah berarti, bahwa pusarnya, titik beratnya, aksennya kita punya perjuangan haruslah terletak di dalam perjuangan nasional“

Selain itu, Politikus PKS, Fahri Hamzah tiba tiba saja membuat kultwit – kuliah di twitter – tentang nasionalisme Sukarno yang ditarik dengan persamaannya dengan Prabowo. Padahal kita tahu, platform pemikiran marhaenisme, yang diakui oleh Sukarno sebagai marxisme yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia bertolak belakang dengan platform Al – Ikhwan al – Muslimin yang menjadi jiwa PKS.

Terakhir partai PAN, juga berusaha meraih simpati dengan menyediakan Rumah Polonia yang disebutnya sebagai rumah Soekarno, sebagai markas posko pemenangan Prabowo – Hatta. Padahal rumah itu sedikit sekali memiliki pertautan historis dengan Sukarno. Rumah itu menjadi rumah tinggal salah satu isri Sukarno, Yurike Sanger. Dalam biografi Yurike Sanger sendiri, disebutkan Sukarno tidak benar benar tinggal disana. Ia hanya datang untuk makan siang dan ‘beristirahat‘ sebentar, sebelum kembali ke kediamannya yang resmi.

Bagaimana dengan Hatta Rajasa, Cawapres yang notabene ketua umum Partai Amanat Nasional? Keberpihakannya pada pembangunan jembatan Selat Sunda justru bertentangan dengan konsep negara kepulauannya Sukarno. Hatta Rajasa melihat lautan sebagai pemisah, sehingga perlu dibuat jembatan. Berbeda dengan Sukarno yang melihat laut sebagai pemersatu, sehingga mimpinya suatu saat Indonesia memiliki pembuat pesawat terbang dan kapal yang menyatukan Nusantara.

Lalu bagaimana dengan calon yang diusung PDIP ? Sejauh ini Jokowi justru tidak secara personifikasi berusaha meniru Soekarno. Pertama, karena ia bukan orator yang bagus seperti Sukarno atau bahkan Prabowo. Kedua, ia sangat jarang menyebut Sukarno dalam pidatonya. Ia hanya mengatakan di sebuah pidatonya, bahwa pemikiran Sukarno masih relevan dengan kondisi saat ini. Jika dilaksanakan, maka konsep Trisakti seperti kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian dalam kebudayaan akan menjadi soko guru bangsa ini.

Saya juga belum melihat bagaimana Jokowi mengaplikasikan sosio demokrasi dan sosio nasionalisme dari konsep Marhaenisme dalam revolusi mental yang diusungnya.

Pada akhirnya tidak ada yang bisa menyamai Sukarno. Dengan segala plus minusnya. Sukarno adalah manusia multi dimensi yang sulit dilahirkan kembali, karena jaman sudah berubah. Pemikiran dan pribadi Sukarno terbentuk dari rentang waktu yang panjang. Prabowo dan Jokowi tak akan mungkin pernah merasakan hidup di jaman penjajahan, termasuk di penjara dan dibuang oleh Pemerintah kolonial.

Coba dengar pidato yang berani dari Hadisubeno, Ketua umum PNI waktu pemilu 1971. “Sepuluh Soeharto, sepuluh Nasution dan segerobak Jenderal, tidak dapat menyamai satu Soekarno“. Malangnya, tak lama setelah pidato itu, Hadisubeno meninggal secara misterius di sebuah rumah sakit di Semarang.

Saya hanya berharap para calon pemimpin tak perlu menjadi Sukarno Sukarno baru. Cukup memberikan dedikasinya terhadap bangsa dan negaranya tanpa berpretensi apapun, kecuali jiwa pengabdian. Inilah ‘Dedication of Life‘ yang ditulis Sukarno di penghujung kekuasaannya,

Saya adalah manusia biasa.
Saya dus tidak sempurna.
Sebagai manusia biasa saya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan.
Hanya kebahagiaanku ialah dalam mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah Air, kepada Bangsa. Itulah Dedication of Life ku.

Jiwa pengabdian inilah yang menjadi falsafaf hidupku, dan menghikmati serta menjadi bekal hidup dalam seluruh gerak hidupku.
Tanpa jiwa pengabdian ini saya bukan apa-apa. Akan tetapi dengan jiwa pengabdian ini, saya merasakan hidupku bahagia dan manfaat

Foto: Life Magazine

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tentang Penulis:
Iman Brotoseno adalah seorang pekerja seni (Sutradara film iklan, dokumenter). Pernah juga (namun kapok) mengerjakan sinetron ftv dan musik klip . Disela sela kesibukannya, Iman menulis artikel gaya hidup, perjalanan, pariwisata, topik-topik underwater dan tentu saja film. Iman menyukai sejarah dan selalu mencari jawaban atas lubang lubang sejarah bangsa ini. Ikuti twit Iman di @imanbr dan juga baca blognya di blog.imanbrotoseno.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar