Santa


…….He was dressed all in fur, from his head to his foot, And his clothes were all tarnished with ashes and soot; A bundle of toys he had flung on his back, And he looked like a pedler just opening his pack. His eyes—how they twinkled! his dimples, how merry! His cheeks were like roses, his nose like a cherry! His droll little mouth was drawn up like a bow, And the beard on his chin was as white as the snow ……. 

 A Visit from St. Nicholas, demikian Clement Clark Moor asal New York mendeskripsikan sosok khayalan dalam sajak menjelang Natal tahun 1822. Siapa sangka sosok ini kemudian menyebar dan merasuk ke dalam hidup orang Amerika. Ia menjelma menjadi Santa Clauss berkelana menggendong bungkusan berisi mainan, menjadikan icon yang digemari anak anak. Bahkan sampai di belahan bumi yang berjarak jauh dari Amerika, anak anak masih percaya untuk menaruh kaus kaki yang kelak akan diisi hadiah dari Santa.

Ternyata penggambaran Santa Claus tidak selalu seperti sekarang – pria periang berjanggut putih dengan kostum merah putih. Sebelum abad 20, ada yang menggambarkan Santa mengenakan kostum pemburu. Ia hadir menyerupai berbagai macam hikayat di Eropa. Ada yang mempercayai berasal dari Dewa Odin di Eropa Utara. Sebagian mempercayai Santa merupakan evolusi dari pendeta asal Turki, Saint Nicholas yang tentu saja badannya ramping mengenakan jubah uskup.

Santa juga berkolaborasi dengan budaya setempat, di Belanda Santa Clauss lebih dikenal dengan Sinterklass. Karena budaya kolonialisme saat itu. Sinterklass merasa harus dibantu ‘ bedinde ‘ pembantu bernama Peter, ‘ Zwarte Piet ‘ atau Peter Hitam. seorang budak Ethiopia yang telah dibebaskan. Sinterklass Belanda berkostum Uskup yang berbeda dengan Santa Claus Amerika.

Kartunis Thomas Nast dalam Perang saudara di Amerika, pertama kali menggambar Santa Claus menggunakan mantel merah sebagai tokoh yang mendukung kelompok persatuan. Ilustrasi ini dimuat dalam Harper Weekly edisi Natal 1862. Kemudian Kevin Rawlings meneruskan ilustrasi Thomas Nast, yang menggambarkan patriotik perang saudara. Santa Claus muncul di halaman depan Harper Weekly pada tanggal 3 Januari 1863.

Diam diam kita – muslim – merasa ketakutan melihat Santa yang menyapa dan menawarkan hadiah permen di mall mall. Celakanya ini menjadi bola liar yang ujung ujungnya memberi kesan kebencian pada mereka yang merayakan Natal. Semangat keberagaman menjadi terciderai dengan himbauan larangan mengucapkan selamat hari Natal sampai tuduhan Kristenisasi karena banyaknya ornament pohon Natal dan penjaga toko bertopi Santa dimana mana. Kita merasa sambutan penjaga restaurant berkostum Santa yang membuka pintu, sebagai jebakan untuk menguji iman kita.

Padahal kisah Santa sama sekali tidak menjadi bagian dari iman Kristiani. Santa justru merupakan simbol konsumerisme. Gunawan Mohammad menulis. New York pada dua dasawarsa pertama abad ke-19 itu, ketika kapitalisme tumbuh dan bank-bank besar mulai didirikan. Ada kebutuhan membuat keajaiban akrab kembali. Maka berkembanglah imajinasi tentang seseorang yang datang malam-malam dari negeri misteri, turun ke bumi dan masuk diam diam ke rumah melalui cerobong asap yang membagi-bagikan mainan gratis.

Natal bagi masyarakat sekuler di barat sudah bergeser tidak lagi menjadi hari besar agama. Siapa perduli dengan kelahiran juru selamat. Natal menjadi momen universal seluruh muka bumi. Makna lagu ‘ Joy to the world ‘ telah ditarik kedalam momen festive. Saatnya bersuka cita karena liburan telah tiba. Mari menyambut discount harga. Sehingga di India yang Hindu memiliki, ‘ Christmas Baba ‘ – Bapak Natal dalam versi Hindi atau Urdu – yang berkelana naik kereta kuda membawa hadiah hadiah untuk anak anak.

Sama sekali tidak ditemukan simbol salib atau Gereja dalam sosok Santa. Ia lebih banyak tertawa ‘ Ho Ho Ho ‘ daripada mewartakan sang juru selamat. Justru Santa yang sampai sekarang kita kenali adalah icon salesman produk minuman. Sosok Santa diciptakan dan dilukis oleh Haddon Sundblom tahun 1931 untuk iklan Coca Cola. Sundblom memang terinspirasi penggambaran sosok dalam puisi Clement Clark Moore diatas. Deskripsi Moore tentang manusia Santa sebagai sosok yang hangat, ramah dan bertubuh gemuk, serta perutnya berguncang guncang ketika tertawa.

Sejak itu Santa berevolusi sebagai perpanjangan penjualan brand brand global yang menembus negeri negeri yang mayoritas Islam. Tidak di Arab atau di Indonesia, kita melihat Santa ada di pusat pusat perbelanjaan. Santa juga menjual ayam di gerai KFC. Repotnya di Indonesia banyak yang memelintir apalagi dikaitkan berita pemaksaan dari perusahaan kepada pegawainya yang muslim untuk memakai Topi Santa.

Padahal sebagian pemilik usaha yang notabene bukan Kristen, melihat topi santa yang dipakai karyawannya hanya bagian dari job desc, memberikan layanan kepada pelanggan pada momen festive ini. Sebagai pegawai, tentu berkewajiban membuat profit untuk perusahaan atau toko tempat dia bekerja. Hampir tak mungkin ada perjanjian kerja yang menuliskan klausul harus mengenakan topi Santa dalam bulan Desember. Ini hanya spontanitas manager manager lapangan menghadapi momen festive.

Secara diam diam kita benci karena merasa dominasi mayoritas terganggu dengan simbol yang dianggap representasi Kristen. Akhirnya kita membuat pengaduan bahwa hak hak agama kita ditindas oleh pemilik perusahaan. Sesuatu yang berpretensi menjadi fitnah, karena belum tentu itu hal sebenarnya. Berapa persen dari pengaduan itu yang valid ? katakanlah perusahaan benar benar mengancam memotong gaji bagi karyawan yang menolak. Bahkan Chairul Tanjung pasti tak berpikir bahwa pegawainya yang memakai topi santa di gerai perbelanjaan Carefour miliknya, sebagai bagian Kristenisasi.

Kita hanya benci dan iri. Selemah itukah iman kita ?

Seorang pemikir Islam yang mati muda, Ahmad Wahib pernah menulis sebagai seorang Muslim Indonesia, ia merasa harus berontak terhadap sikap sikap umat. Bagaimana ia harus berbeda, karena ia tak mungkin dipaksa membenci pemeluk Kristen Katolik. Pengalaman sosio-kultural Ahmad Wahib selama bergaul, hidup bersama dan bertahun tahun membina persahabatan dengan orang orang Nasrani, secara tidak sadar mempengaruhi jalan pikirannya.

“Dalam pengalamanku maka, mereka semua ternyata tidak sejahat seperti teman teman. Dalam rumah rumah orang Islam, saya melihat bayangan mereka yang jelek. Sedang di rumah mereka sendiri, aku menyaksikan mereka biasa seperti kita umumnya. Tapi tentu saja perbedaan diatas bukan dikarenakan perbedaan pengalaman“ 

Pada akhirnya bagi yang waras, juga tak perduli dengan ancaman Santa. Dia hanya datang dari negeri antah berantah yang menawarkan keriangan untuk kultur masyarakat modern. Natal bagi saya muslim juga membawa berkah, yakni discount barang barang dan tentu saja pembagian deviden.

Selamat Natal dan Damai di bumi

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tentang Penulis:
Iman Brotoseno adalah seorang pekerja seni (Sutradara film iklan, dokumenter). Pernah juga (namun kapok) mengerjakan sinetron ftv dan musik klip . Disela-sela kesibukannya, Iman menulis artikel gaya hidup, perjalanan, pariwisata, topik-topik underwater dan tentu saja film. Iman menyukai sejarah dan selalu mencari jawaban atas lubang lubang sejarah bangsa ini. Ikuti twit Iman di @imanbr dan juga baca blognya di blog.imanbrotoseno.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar