Bigotry


Bigotry, sikap memusuhi yang bukan kalangan sendiri, kian membayangi negeri ini. Fanatisme membabi buta dan kebencian terhadap mereka yang bukan bagian dari kelompoknya.

Sneha Kothari Mashru, gadis muda yang berprofesi sebagai penyiar radio, tak menyangka hari itu akan menjadi hari paling mengerikan dalam hidupnya. Sabtu siang, 21 September 2013, segerombolan orang bersenjata memasuki Westgate Mall, Nairobi, Kenya, dan langsung memberondongkan bedilnya secara membabi buta. 

Beberapa anggota gerombolan berteriak “Allahu Akbar” dan mengatakan akan membiarkan mereka yang muslim meninggalkan gedung, tapi tak akan melepaskan mereka yang non-muslim. Sontak beberapa muslim, diantaranya Rafia Khan, berusaha mengajarkan kepada yang non-muslim kalimat syahadat, “Ashadu alla ilaha illa Allah”.

Tapi naas, bukan itu yang ditanyakan gerombolan bersenjata yang diklaim anggota kelompok radikal Al-Shabaab yang berbasis di Somalia itu. Mereka menanyakan hal yang lebih sulit, seperti siapa istri Nabi Muhammad dan sejenisnya.

Rafia Khan berhasil lolos dari penyanderaan itu. Begitu juga dengan Sneha Kothari, yang meski sempat terjebak dalam jangkauan orang-orang bersenjata namun berhasil selamat karena pura-pura tewas dengan cara melumuri tubuhnya dengan darah korban yang tewas di sampingnya.

Penyanderaan West Mall, Kenya, adalah drama yang mengerikan. 67 orang dilaporkan tewas, beberapa dengan kondisi tubuh yang tidak utuh, dan ratusan lainnya luka-luka. Motif politik disinyalir menjadi penyebabnya, tapi nuansa agama sangat kental mewarnainya. Karena Al-Shabaab, kelompok bersenjata yang mengendalikan beberapa wilayah di Somalia, mendasarkan sepak terjangnya pada semangat jihad. Mereka anti asing, anti non-muslim. Meski dalam penyanderaan tersebut banyak jatuh korban muslim, diantaranya Zahira Bawa dan anaknya yang baru berumur 8 tahun, Shakutna Bawa.

Kita tidak berharap peristiwa semacam itu tidak terjadi di Indonesia. Namun kita tentu tidak lupa bahwa Bali pernah diserang teroris (bermotif sentimen) agama, dengan jumlah korban yang lebih banyak. Beberapa sumber mengatakan bahwa sel teroris di Indonesia kian lemah, tapi jika mengingat masih banyaknya kampanye kebencian berlatar agama, kita semua layak was-was. Teroris bersenjata mungkin melemah, tetapi pikiran teroris sepertinya banyak bersemayam di kepala-kepala mereka yang punya sentimen sama dengan Al-Shabaab.

Di social media, dan juga di media (abal-abal), kampanye negatif terhadap yang bukan kelompoknya terus merajalela, yang sering tidak berbasis fakta. Fitnah belaka. Orang-orang seperti Jonru,  yang kita tidak tahu apakah menggunakan akal sehat dan nuraninya atau tidak ketika bersuara, kian banyak saja. Tak jarang mereka adalah anak-anak muda yang tidak cukup mendalam ilmu agamanya.

Namun akar fanatisme buta bukan berasal dari orang-orang macam Jonru dan sejenisnya, tapi ideolog-ideolog garis keras yang tak henti menyebarluaskan pandangannya. Dari belasan situs “bernafas Islam” di Indonesia, yang paling populer adalah VOA-Islam dan Arrahmah, dua situs yang tidak berafiliasi ke NU maupun Muhammadiyah—dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan juga tidak terkait dengan PKS—yang beraliran “kanan”.

Dua situs  itu lebih berkiblat pada kelompok-kelompok di Timur Tengah, selalu berusaha membakar semangat muslim Indonesia dengan kisah-kisah dari medan konflik Timur Tengah khususnya Palestina dan Syria yang sering tidak bisa dipertanggungjawabkan sumber beritanya. Singkatnya: mereka seperti ingin menyeret konflik Timur Tengah ke Indonesia, yang notabene negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Jika berhasil, maka itu akan jadi capaian yang luar biasa.

Tak dapat dipungkiri bahwa sejak reformasi, kebebasan dan keterbukaan terbentang demikian luasnya, di mana salah satu anak haramnya adalah kebebasan dan keterbukaan dalam mengungkapkan dan mengampanyekan kebencian. Ironis.

Di berbagai ruang dan kesempatan sering kita jumpai khotbah-khotbah dan pernyataan yang memprovokasi kebencian. Di media macam Arrahmah dan VOA-Islam, di social media, di pengajian-pengajian, bahkan di masjid-masjid gedung pemerintahan. Kampanye kebencian mendapat ruang yang nyaris tak terbatas. Bahkan dukungan-dukungan terhadap ISIS yang terkenal kekejamannya mudah kita temukan di dunia maya dan juga sejumlah forum pengajian dan masjid di Indonesia. Kian hari bangsa Indonesia yang beragam ini menghadapi tantangan yang tak mudah dari mereka yang ingin menyeragamkan kebhinekaan.

Kita tidak tahu sampai kapan itu akan berlangsung, sampai kapan itu dibiarkan. Bigotry, fanatisme membabi buta terhadap suatu kelompok atau pandangan (agama, suku atau bahkan klub sepakbola), yang dibarengi sikap penuh prasangka dan sentimen kebencian terhadap mereka yang bukan bagian dari kelompoknya, tak diragukan lagi sedang menggerayangi Indonesia. Dan kita mesti bangun dan membuka mata, melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah satu ini, bigotry, yang bisa mengacaukan negeri ini.

*Tulisan ini berasal dari tulisan di VOICE+ Magz juga oleh Savic Ali

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Tentang Penulis:
Savic Ali adalah Aktivis sosial, movement evangelist. Pemred NU Online & VOICE+ Magz. Tertarik pada sepakbola, filosofi & kemasyarakatan. Gusdurian, Gooner, futsaller. Ikuti twitnya di @savicali dan juga Facebook profilenya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar