Mengapa “follow your passion” adalah saran yang menyesatkan


Catatan singkat tentang penerjemahan “passion” menjadi renjana:
Saya berencana menulis topik ini dalam Bahasa Indonesia. Tantangan pertama yang saya hadapi adalah menerjemahkan kata “passion” itu sendiri. Seringkali dalam konteks ini “passion” diterjemahkan menjadi “semangat”, dan ini  terlalu longgar. Kadangkala “passion” dialihbahasakan menjadi “hasrat”. “Hasrat” adalah sinonim dari keinginan, sehingga lebih cocok untuk menerjemahkan “desire“. 
Dalam kamus Bahasa Inggris (Oxford), definisipassion” adalah “strong and barely controllable emotion“. Google Translate menyarankan kata “renjana” untuk “passion“. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan “renjana” sebagai “rasa hati yang kuat (rindu, cinta kasih, berahi”). Dengan demikian, saya rasa cukup tepat menerjemahkan “passion” menjadi “renjana”. Kata “renjana” memang belum umum, tapi mungkin kita bisa mulai mempopulerkannya.

***
Sama seperti di beberapa negeri lain, sebagian kelas menengah urban di Indonesia sedang getol mengikuti “the cult of passion” alias kultus renjana. Kegetolan ini saya rasa juga karena dikompori oleh mereka yang menyebut dirinya motivator, “life coach“, dan yang sejenisnya.
Di Amerika, kultus renjana diduga dipicu oleh pidato Steve Jobs di acara wisuda Stanford University, musim panas 2005. Steve bersabda,
“…the only way to do great work is to love what you do. If you haven’t found it yet, keep looking.”
Isi pidato Steve Jobs akhirnya diringkas menjadi sebuah slogan, “Ikuti renjanamu”, dan lahirlah kultus renjana.

Ide dasar dalam kultus renjana adalah:
  1. Dalam diri setiap orang, selalu ada renjana yang sudah sejak lama hadir (“pre-existing”). Renjana itu menanti kita, siap untuk ditemukan.
  2. Jika kita berhasil menemukan renjana itu, kita harus mengikutinya dalam pekerjaan atau karir. Hanya dengan bekerja sesuai renjana, kita bisa mendapatkan kebahagiaan dan keberhasilan.
Singkat kata, dalam kultus kepercayaan ini renjana adalah titik awal atau prasyarat dari kebahagiaan dan pencapaian dalam pekerjaan. Bekerjalah dalam bidang yang kita cintai, maka uang dan kesuksesan akan datang —entah bagaimana caranya. Jika kita tidak berhasil mengenali renjana kita, maka hampir mustahil kita bisa menemukan kepuasan dalam kerja.

Ide dasar dalam kultus renjana terasa intuitif, tapi belum tentu sesuai dengan kenyataan. Jangan lupa anggapan bahwa bumi adalah datar dan matahari mengitari bumi pun terasa intuitif, tapi terbukti salah.
***
so-good-they-cant-ignoreCal Newport adalah seorang profesor ilmu komputer di Georgetown University. Pengalaman pribadi Newport mendorongnya melakukan riset untuk menguji kebenaran ide dasar di balik mantra “ikuti renjanamu”. Selama beberapa tahun, ia memawawancari banyak orang yang dikenal mencapai keberhasilan dalam bidangnya. Ia juga meninjau ulang berbagai hasil penelitian dalam bidang kepuasan dan motivasi kerja.

Newport menemukan penelitian yang menunjukkan hanya sedikit sekali orang yang merasa memiliki renjana yang sudah ada sejak dulu.  Sebaliknya, berbagai studi  menunjukkan, mereka yang merasa sangat antusias bekerja  justru adalah mereka yang sudah menggeluti bidang itu dalam waktu yang cukup lama.

Newport juga membaca biografi Steve Jobs dengan seksama. Terlepas apa yang disabdakan Jobs dalam pidato di Stanford, ternyata ia dan Steve Wozniak mendirikan Apple demi mencari uang lewat membuat komponen komputer. Saat itu, renjana Jobs adalah mistisisme Timur, dan ia harus membayar biaya kursus di Los Altos Zen Center. Ironis, bukan?

Jelas bahwa renjana bukanlah prasyarat. Sebaliknya, Newport menemukan bahwa renjana adalah sebuah konsekuensi alias efek samping. Efek samping ini  muncul saat kita membangun keterampilan yang  langka dan berharga di bidang kita.

Dalam setiap bidang, selalu ada karakteristik yang mendefinisikan karya yang bermutu tinggi. Karakteristik itu adalah hasil dari keterampilan yang langka, sehingga orang mau membayarnya dengan harga tinggi. Inilah keterampilan yang harus kita bangun.

Untuk mendapatkan keterampilan itu, kita harus membayarnya dengan ketekunan dan kerja keras. Kita harus sering mencoba dengan sungguh-sungguh, dan mendapat umpan balik yang jujur dan jelas dari mereka yang dalam bidang itu.

Sikap inilah yang oleh Newport disebut sebagai mentalitas pengrajin (“craftman mindset“). Orang yang mengadopsi mentalitas pengrajin selalu berpikir tentang bagaimana mereka bisa menjadi lebih baik dalam bidangnya sehingga mereka bisa memberi nilai lebih.

Newport membandingkan mentalitas pengrajin dengan mentalitas renjana (“passion mindset“). Disadari atau tidak, orang yang hidup dalam mentalitas renjana sering mempertanyakan apa yang ditawarkan dunia buat mereka —seakan-akan dunia punya kewajiban membuka bidang pekerjaan yang sesuai dengan renjana mereka. Saat berhadapan dengan kesulitan dalam pekerjaan, mereka akan bertanya, “Apakah pekerjaan ini sudah sesuai dengan renjana saya? Adakah pekerjaan lain yang lebih cocok untuk renjana saya?”
***
Mengadopsi mentalitas pengrajin dan membangun keterampilan yang langka dan berharga bisa membuat kita menjadi berhasil dalam pekerjaan kita. Namun akankah ini akan membuat kita mencintai pekerjaan kita, dan mendapatkan kepuasan dari situ?

Newport merangkum berbagai studi yang menunjukkan bahwa atribut yang membuat orang mencintai dan mendapatkan kepuasan dalam pekerjaannya bersifat universal. Maksudnya, atribut ini bisa ditemui dalam semua bidang pekerjaan, bukan hanya dalam area tertentu. Atribut-atribut itu adalah
  • Kita merasa mempunyai otonomi dalam bekerja; kita bisa mengendalikan bagaimana kita bekerja (“sense of autonomy“)
  • Kita merasa cakap dalam melakukan apa yang kita kerjakan, dan bisa terus meningkatkan kecakapan tersebut (“sense of mastery“)
  • Kita merasa bahwa pekerjaan kita memberi pengaruh atau berkontribusi pada dunia atau ummat manusia (“sense of purpose“).
Jelas bahwa mentalitas pengrajin dan membangun keterampilan yang berharga akan mengantar kita pada “sense of mastery“. Selain itu, keterampilan yang berharga bisa kita jadikan modal untuk mendapatkan otonomi dalam pekerjaan kita. Kita akan memiliki posisi tawar yang lebih bagus dalam memilih proyek yang kita sukai dan menentukan gaya atau cara kita bekerja.

Bagaimana dengan “sense of purpose“? Semakin kita menguasai bidang kita, semakin mudah buat kita untuk melihat bagaimana kerja kita dapat berkontribusi pada dunia. Semakin kita menguasai bidang kita, semakin mudah buat kita untuk melihat “the big picture“. Kita semakin punya waktu dan kemampuan untuk pergerakan terakhir di dalamnya. Di sinilah kita bisa melihat lebih banyak peluang melakukan terobosan dalam area lain yang bersinggungan dengan bidang kita.

Sebagai contoh, di tangan Steve Jobs komputer tidak lagi adalah sekedar alat kantor untuk meningkatkan produktivitas. Jobs menjadikan komputer sebagai alat yang tidak saja bernilai estetis, tapi juga memberikan pengalaman estetis saat digunakan. Saya cukup yakin, Jobs bisa melihat kemungkinan ini dengan lebih nyata pada saat ia sudah cukup menguasai teknologi dasar hardware dan software.
***
Lalu apakah saran untuk mengganti “ikuti renjanamu”? Newport sebetulnya enggan untuk memberi saran singkat berbau slogan, namun ia sadar ia hidup di jaman 140 karakter. Menurut Newport,
Passion is not something you follow. It’s something that will follow you as you put in the hard work to become valuable to the world.

Don’t follow your passion, let it follow you in your quest to become useful to the world.
Jadi janganlah mengikuti renjana kita. Jadikan renjana sebagai sesuatu yang mengikuti kita pada saat kita berjuang membangun keterampilan yang berharga, untuk menjadi lebih berguna buat dunia.

Untuk mendengar langsung dari mulut Cal Newport, silakan saksikan video saat ia menjadi pembicara di World Domination Summit, 2012:




Wawancara dengan Cal Newport:
Cal Newport on how you can be an expert and why you should *not* follow your passion
‘Follow Your Passion’ Is Crappy Advice
7 Steps to Developing Career Capital – And Achieving Success

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Tentang Penulis:
Paramita Mohamad adalah seorang praktisi periklanan yang memfokuskan diri pada communication planning sekaligus seorang aktivis LGBT. Ia tidak saja suka menangkap hal-hal yang berkaitan dengan periklanan dalam tulisan-tulisannya namun juga hal-hal yang lebih luas. Ikuti twitnya di @sillysampi dan juga blognya di paramitamohamad.com

2 komentar:

  1. Apakah tidak bisa menggunakan "gairah" sbg padanan kata, yg terdengar lebih 'common" di telinga?

    BalasHapus
    Balasan
    1. jadi "Ikuti Gairahmu"....gitu kah?.....mmmm.....gak jadi lebih aneh ya?

      Hapus